PWM Jawa Tengah - Persyarikatan Muhammadiyah

 PWM Jawa Tengah
.: Home > Berita > Prof. Masrukhi: Tantangan Kontemporer Gerakan Da’wah Muhammadiyah

Homepage

Prof. Masrukhi: Tantangan Kontemporer Gerakan Da’wah Muhammadiyah

Kamis, 23-04-2015
Dibaca: 2435

Pendahuluan
Gerakan da’wah persyarikatan Muhammadiyah yang sudah berusia lebih dari satu abad lamanya di bumi Indonesia ini, tidak pernah akan lekang oleh dimamika kehidupan. Kendatipun tantangan kehidupan berbeda-beda pada masanya, akan tetapi spirit gerakannya tetap kontekstual dan relevan. Hal ini disebabkan oleh pemikiran yang sangat komprehensive dari KH Ahmad Dahlan, ketika akan memulai gerakan bermuhammadiyah saat itu. Dengan kata lain gerakan Muhammadiyah itu lahir karena pemikiran yang matang dan komprehensif dari seorang tokoh KH Ahmad Dahlan. Setidaknya ada empat pemikiran besarnya yang melandasi lahirnya gerakan Muhammadiyah, yaitu yaitu pemikiran tentang realitas sosio religi, realitas sosio edukasi, realitas sosio politik, dan (tidak kalah penting) fikiran maju bagaimana mentransformasikan ritualitas keagamaan dalam tata kehidupan sosial kultural.
Fikiran-fikiran tersebut merupakan fikiran yang sangat maju, jauh melampaui ruang dan waktu, kendatipun digagas pada masa-masa awal perjuangan bangsa Indonesia memasuki era kebangkitan nasional. Agama Islam yang sesungguhnya merupakan sumber inspirasi untuk membangun peradaban berbangsa dan bernegara, saat itu hanya dikonstruksi sebagai sebuah ajaran ritual belaka. Yang melakukan konstruksi pemikiran demikian adalah pemerintah penjajah Belanda. Pengamalan Agama Islam hanya sebatas pada kegiatan-kegiatan peribadatan ritual, tanpa memberikan efek pada kehidupan sosial budaya, pendidikan, politik, dan kehidupan duniawiyah secara umum. Agama Islam seharusnya menjadi energi yang besar dalam kehidupan masyarakat untuk membangun kehidupan yang lebih maju, berperadaban, berkeadilan, dan berkemakmuran. Akan tetapi hal inilah yang ditakuti oleh pemerintah penjajah Belanda, jika Islam ditafsirkan dalam ranah kehidupan sosial kemasyarakatan secara komprehensif bisa mengancam status quo penjajah, yang sedang enak enaknya menikmati kekayaan alam Indonesia dengan hegemoni kekuatan yang besar. Dalam fikiran mereka, Islam haruslah dikonstruksi sedemikian rupa sehingga hanya sekedar memberikan kenikmatan ritualitas bagi umat muslim. Bahkan jika perlu seperti diteorikan oleh Karl Marx, melalui ajaran agama masyarakat dininabobokan oleh kenikmatan “semu” ritualitas sehingga kendatipun msyarakat muslim dalam kondisi miskin dan tidakberdaya, toh kelak mereka akan memperoleh balasan syurga. Ideologi demikian ditanamkan betul oleh penjajah belanda, agar spirit Islam sebagai pembangun dan pembebas masyarakat (rakhmatan lil alamiin) tidak bangkit. Kondisi inilah yang menjadi kegelisahan KH Ahmad Dahlan saat itu.
Sepanjang perjalanan kehidupan manusia, betapa pun majunya teknologi ; empat fikiran KH Ahmad Dahlan tersebut tetap merupakan pilar dasar yang tidak dapat dilepaskan dari sejarah kemanusiaan. Varians tantangannnya saja yang berbeda. Itulah sebabnya gerakan da`wah Muhammadiyah tetap kontekstual dan relevan sepanjang zaman, menghantarkan umat manusia menuju terwujudnya khoiro ummah (Ali Imron 104-110), dengan memposisikan diri mengambil peran ummatan wasathan (Al Baqarah 143), dan tetap menjadikan gerakan da’wah Muhammadiyah melakukan Syuhada’ alannas (Al Baqarah 143).
Muhammadiyah dan Poltik
Ada hal menarik, ketika kita menyimak sejarah perjalanan Muhammadiyah di awal-awal perjuangannya, ketika Muhammadiyah masih dipimpin oleh generasi pertama, generasi para pendiri Muhammadiyah. Hal yang menarik adalah munculnya dinamika dari pihak tertentu yang menginginkan Muhammadiyah tidak berhenti pada gerakan da’wah saja akan tetapi “move on” menjadi partai politik. Menjadi partai politik berarti mengambil bagian dalam pertarungan perolehan kekuasaan di alam demokrasi, yang diyakini kelak akan mengefektifkan gerakan da’wah Muhammadiyah, dalam kehidupan bangsa Indonesia.
Adalah KH Agus Salim yang mengemukakan ide demikian, dalam sebuah rapat pimpinan Muhammadiyah di sekitar tahun 1921(lihat Risalah KH Suprapto Inu Juraemi, 2011). Sosok Agus Salim yang seorang diplomat ulung, pandai mengemukakan gagasannya secara sistematis, dengan argumentasi-argumentasi yang logis, mampu meyakinkan seluruh peserta rapat yang dipimpin langsung oleh KH Ahmad Dahlan. Sehingga dari seluruh peserta rapat tidak ada seorang pun yang mengemukakan pendapat berbeda. Semuanya terkesima dengan gagasan yang dilontarkan oleh KH Agus Salim untuk menjadikan gerakan persyarikatan Muhammadiyah menjadi partai politik. Pada akhirnya KH Ahmad Dahlan sendiri yang langsung menyatakan keberatan dan tidak setuju jika Muhammadiyah dijadikan sebagai partai politik. Dengan nada tinggi sebagai pimpinan rapat saat itu, KH Ahmad Dahlan menolak tegas gagasan untuk menjadikan Muhammadiyah sebagai partai politik. Dua pertanyaan yang sangat filosofis yang dikemukakan olehnya sebagai alasan menolak gagasan tersebut. Pertama adalah apakah saudara-saudara mengetahui secara benar tentang Agama Islam. Kedua, apakah saudara-saudara sekalian berani berIslam dalam arti yang sebenar-benarnya. Dua pertanyaan ini sangat filosofis, oleh karena kelihatannya mudah, hal keseharian, akan tetapi untuk menjawabnya butuh perenungan yang mendalam, butuh instrospeksi yang ikhlas. Memang benar adanya, atas dua pertanyaan tersebut, tidak ada satu pun peserta rapat yang memberikan jawaban terhadap dua pertanyaan KH Ahmad Dahlan, termasuk KH Agus Salim sendiri. Pada akhirnya semua peserta rapat mengikuti pandangan tulus untuk tidak menjadikan Muhammadiyah sebagai partai politik.
Dengan posisi nya sebagai gerakan da’wah keberadaan Muhammadiyah akan terus memberikan pencerahan dan sinar kebenaran dalam hiruk pikuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini seperti simbol Muhammadiyah berupa matahari yang akan selalu memberikan sinar kehidupan, kapan pun, siapa pun, dimana pun, dan dalam kondisi apa pun.
Fenomena Abad 21
Kita sudah memasuki kehidupan abad 21, bahkan sudah selama 14 tahun kita berada di dalamnya. Sudah tentu dinamika kehidupan abad 21 ini memberikan tantangan da’wah yang spesifik. Meminjam terminologi Alvin Tofller (futurolog Jerman), abad 21 itu berada pada peradaban gelombang ketiga (seperti yang menjadi judul bukunya “the third wave”). Menurut Tofller, terjadi evolusi peradaban manusia dalam tiga gelombang, yaitu gelombang peradaban pertanian, industri, dan informasi, yang masing-masing memiliki spesifIkasi tantangan tersendiri. Pada era pertanian, yang dipentingkan adalah aspek muscle (otot), agar seseorang dapat survive dalam kehidupannya. Pada era industri, yang ditonjolkan adalah machine (mesin) karena mesin telah terbukti lebih efektif dan efisien dalam mengerjakan tugas-tugas kehidupan. Sedangkan pada era informasi, yang dipentingkan adalah fikiran dan pengetahuan (mind). Pada era ketiga ini informasi menjadi komoditas yang sangat berharga; siapa yang menguasai informasi dialah yang akan berada di depan. Dunia seakan menjadi the big village (kampung yang besar), sekecil apa pun kejadian di belahan bumi mana pun dengan seketika akan diketahui oleh seluruh penduduk bumi. Kondisi inilah yang kemudian sering disebut sebagai era kehidupan global.
Kita merasakan bersama, betapa pada era global dinamika kehidupan begitu tinggi. Hampir setiap detik terjadi pergerakan-pergerakan dalam semua aspek kehidupan. Hal ini didukung sepenuhnya oleh infra struktur kehidupan global yang begitu lengkap; kemajuan teknologi, komunikasi, informasi, transportasi, mudahnya akses modal, pasar yang meluas, dan sederet kemudahan-kemudahan lain. Pada saat yang sama pula sikap dan perilaku masyarakat semakin rasional. Pada umumnya mereka memiliki kemandirian, dan etos kerja yang tinggi, rasional, dan sportif, sehingga produktifitas kehiupan sosial ekonomi mereka meningkat secara signifikan. Meskipun demikian, kita juga merasakan bersama, sekian fenomena negatif yang mengiringi era kehidupan global. Nilai-nilai asing yang sangat kontradiktif dengan nilai Islam dan keindonesiaan dengan mudah masuk dalam relung-relung kehidupan masyarakat Indonesia melalui jejaring media cetak, elektronik ataupun kontak langsung. Kondisi demikian diikuti pula dengan semakin pudarnya semangat gotong royong, solidaritas, kepedulian, kesetiakawanan sosial, dan sejenisnya yang merupakan atribut keluhuran budi bangsa Indonesia sebagai cerminan nilai-nilai Islam.
Selain fenomena di atas, dalam kehidupan global masyarakat kita pun sangat akrab dengan mesin pencari data yang bernama google atau yahoo, atau sejenisnya yang dalam waktu dekat akan muncul lagi. Melalui mesin pencari ini, segala hal dapat dilakukan pencarian dengan mudah, apa pun yang kita inginkan. Mesin ini telah menjadi sumber belajar masyarakat luas, yang dengan mudah menyajikan beragam informasi. Mulai dari berita selebritis yang kerapkali mengumbar sensuliatas bahkan terkadang mengarah pada pornografi, berita-berita yang penuh dengan muatan ilmu pengetahuan, berita aktual mengenai kejadian-kejadian di sekitar kehidupan di jagad raya ini, sampai kemampuan mencari teks-teks keagamaan baik Al Qur’an maupun Al Hadits. Bisa jadi agen-agen keislaman akan tergantikan oleh google dan sejenisnya.
Kita memaklumi bersama bahwa google ini mesin pencari data ciptaan dua mahasiswa bernama Larry Page dan Sergey Brin dari Standford University di Amerika Serikat, pada tahun 1996. Sebuah survey yang dilakukan di sebuah kampus di Semarang, menunjukkan bahwa 62% mahasiswanya mempelajari Al Islam dari sumber internet. Sedangkan yang 38 % nya belajar Al Islam dari sumber-sumber lain. Dari 62% mahasiswa yang belajar Islam dari internet tersebut, 49% menyatakan tidak mengetahui kredibilitas web site dalam menyajikan informasi-informasi keislaman. Kondisi demikian sudah tentu membutuhkan pemikiran tersendiri untuk diantisipasi bagaimana generasi muda Islam dapat memperoleh pembelajaran Agama Islam dengan sumber yang benar dan tetap dalam bimbingan para ahli-ahli agama. Hal ini dimaksudkan agar para generasi muda muslim benar-benar dapat memperoleh ajaran Islam yang sebenarnya secara koprehensif (kaffah), sehingga akan terasakan di dalam masyarakat arus besar Islam sebagai rahmatan lil alamin.
Betapa perwujudan Islam sebagai rahmatan lil alamiin sangat didambakan oleh kehidupan manusia sepanjang zaman, tidak terkecuali kehidupan masyarakat di abad 21 ini. Dengan arus besar rahmatan lil alamiin menjadikan kehidupan tenteram, nyaman, saling menghormati, sejahtera, meskipun dalam tempo dinamika yang sangat tinggi.
Agar Islam benar-benar menjadi agama yang mensejahterakan lahir batin bagi masyarakat secara luas dan kehidupan secara keseluruhan, maka umat Islam harus memainkan peran penting dalam perjalanan peradaban. Umat Islam secara keseluruhan harus menjadi pelopor sehingga memberikan kontribusi secara signifikan dalam pembangunan umat. Jangan sampai terjadi umat Islam malah dimainkan oleh umat lain, menjadi penonton, statis, dan tidak tahu apa-apa. Itulah sebabnya gerakan da’wah Muhammadiyah sepanjang sejarah bahkan sampai kapanpun selalu mengggelorakan spirit dan roh dari ayat-ayat Al Quran yang sangat familier di kalangan warga persyarikatan, yaitu surat Ali Imron ayat 104-110 dan surat Al Baqarah ayat 143.
Dari ayat-ayat tersebut Islam memberikan tuntunan bagaimana masyarakat muslim bisa memainkan perannya dalam pembangunan ummat. Umat Islam harus memiliki tiga atribut panting yang harus dipegang teguh yaitu sebagai khoiro ummah, ummatan wasathan, dan syuhada’ alannas. Sebagai khoiru ummah berarti masyarakat muslim harus menjadi contoh teladan dalam kehidupan masyarakat yang akan selalu menuntun masyarakat pada jalan yang benar (dalam pengertian luas) mencegah perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji dan mencelakakan. Dalam ayat lain Al Quran bahkan menegaskan, tiga hal yang dilaksanakan oleh orang Islam dalam kehidupan masyarakat, dalam konteks khoiro ummah, yaitu mengajak kepada hal-hal yang baik dan mencegah untuk terjadinya perilaku kemungkaran, mengkhalalkan hal-hal yang baik dan mengharamkan hal-hal yang khobaits sesuai dengan yang ditentukan oleh syariat, serta menghilangkan belenggu belenggu (kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, keputusasaan), yang menimpa masyarakat luas. Sedangkan sebagai ummatan wasathan yang berati ummat yang di tengah-tengah mengandung makna bahwa ummat Islam harus berfikir secara jernih dan komprehensif, tidak terjebak pada pemikiran yang bersifat sektarian, yang penuh dengan kedengkian, kecurigaan, dendam, dan ingin benar sendiri. Berfikir jernih dan komprehensif berarti mampu menimbang-nimbang berbagai hal ketika akan bertindak, termasuk memperhitungkan aspek-aspek filosofi, psikologis, dan sosiologis ketika sebuah tindakan akan dilakukan. Masyarakat yang mampu berfikir jernih dan komprehensif akan melahirkan tindakan-tindakan yang bijak, dan keberadaannya akan menjadi rujukan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kehidupan. Masyarakat demikian merupakan masyarakat solutif, dapat menyelesaikan persoalamn secara bijak, ketimbang mencari dan menambah persoalan yang hanya akan menjadi beban masyarakat. Posisi umat yang berfikir jernih dan komprehensif inilah yang akan dapat menjadi saksi dinamika kehidupan masyarakat (syuhada’a alannas).
Tantangan Radikalisme
Pada paruh pertama dari kehidupan abad 21 ini ada dua fenomena yang menarik, yang menjadi tantangan da`wah Muhammadiyah. Pertama, munculnya gerakan radikalisme beragama yang sangat ekstrim. Kedua, assimilasi budaya yang sangat massiv. Dua tantangan ini begitu cepat menggelinding di tengah kehidupan masyarakat tanpa ada yang bisa membendung. Fenomena ini didorong oleh derasnya arus global dalam kancah gelombang peradaban ketiga. Sekecil apa pun peristiwa yang terjadi dan jauh sekali pun sumbernya, ketika diblow up secara besar-besaran oleh media, akan dengan cepat dikenal dan tersosialisasikan dalam kehidupan masyarakat global.
Secara etimologis, istilah radikalisme sesungguhnya tidak selalu berkonotasi negatif. Radikal berarti pemahaman dan penghayatan sebuah ajaran sampai ke akar-akarnya. Artinya pemahaman, penghayatan, dan pengamalan sebuah keyakinan dalam kehidupan sehari-hari secara komprehensif, bersungguh-sungguh, dan bertanggung jawab. Dalam istilah agama(islam) terdapat kata-kata mastatho’tum, dari ayat Al Qur’an ; Ittaqillaha mas tatho’tum, yang berarti “bertakwalah kamu sekalian kepada Allah sebenar-benar taqwa”. Kata “sebenar-benar taqwa” berarti radikal, yaitu mengimplementasikan seluruh ajaran Islam secara lengkap dan maksimal, dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian gerakan radikalisme agama adalah gerakan yang ingin mengkaji, menghayati, dan mengimplemen-tasikan ajaran agama secara komprehensif dalam kehidupan sehari-hari.
Jika dilihat dari substansi ajaran agama, maka radikalisme agama bukanlah kekerasan dengan mengatasnamakan agama, semata-mata untuk memperkuat kekuasaan. Dalam Agama Islam, silaturahmi menjadi pilar sosial yang sangat penting. Begitu juga visi “rahmatan lil alamiin” menjadi visi pembangunan masyarakat yang dilakukan oleh nabi pada masa-masa kehidupan di madinah. Ajaran Nashrani pun sangat mengedepankan “kasih” dalam interkasi sosialnya; “ketika engkau ditampar pipi kanan, berikan pipi kirimu”. Jika substansi agama adalah ajaran mengenai kebaikan, keharmonisan, kedamaian, maka radikalisme beragama adalah sikap dan perilaku konsekuen untuk menegakkan kedamaian di muka bumi ini, dengan tetap berada di atas keanekaragaman (pluralisme).
Agama memang harus dipahami dan dihayati secara komprehensif, yang dalam terminologi Islam ditegaskan dengan kata kata kaaffah. Pemahaman dan penghayatan yang kaffah inilah yang bisa menghantarkan agama Islam sebagai rahmatan lil alamiin. Dalam sebuah buku yang sudah lama yang ditulis Glock and Stark di tahun 1988, yang berjudul Religion and Society in Tension, dikemukakan bahwa setidaknya ada lima dimensi dalam setiap ajaran agama. Lima dimensi itu sejak dimensi ritual, dimensi mistikal, dimensi ideologikal, dimensi intelektual, sampai pada dimensi sosial. Dimensi ritual berkenaan dengan upacara-upacara dan peribadatan keagamaan. Dimensi mistikal berkenaan dengan pengalaman kegamaan yang setidaknya mewujud dalam tiga aspek concern, cognition, trust, dan fear, sehingga seorang beragama merasakan akan makna hidup, kesadaran akan kehadiran Tuhan, tawakal, dan sejenisnya. Dimensi ideologikal berkenaan dengan eksistensi manusia vis-à-vis Tuhan dan makhluk Tuhan. Istilah khlifah fil ardl atau amar ma’ruf, berada dalam dimensi ini. Dimensi inteletual berkenaan dengan tingkat pemahaman orang terhadap ajaran-ajaran agama. Sedangkan dimensi sosial, merupakan implementasi religiousitas dalam kehidupan bermasyarakat. Jika radikalisme dikaitkan dengan pemahaman agama secara komprehensif, maka akan terbentuk seorang beragama yang paripurna. Persoalannya menjadi lain ketika radikalisme beragama ini dibingkai oleh nafsu kekuasaan dan ego sektoral dalam ranah politik global. Dengan berdalih menegakkan syariat agama, apa pun harus dilakukan kendatipun hal itu harus bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai agama itu sendiri. Fenomena ini perlu memperoleh perhatian dari semua pihak khususnya warga Muhammadiyah, untuk bisa mengantisipasi secermat mungkin. Perlu antisipasi dari berbagai aspek kehidupan, baik yang bersifat preventif maupun kuratif. Di Indonesia sendiri kita merasakan bersama, gerakan radikalisme abad 21 ini telah melahirkan berbagai bentuk tindakan terorisme. Sejak tahun 2002 di Indonesia terjadi lima kali serangan teror yang mengguncangkan dunia internasional dengan menewaskan banyak korban. Serangan teror yang berbasiskan radikalisme itu adalah sejak peristiwa teror Bom Bali 1 (2003), JW Marriott Hotel di Jakarta (2003), pengeboman kedutaan besar Australia di Jakarta (2004), kemudian di tahun 2005 terjadi bom Bali ke dua, sampai pengeboman kembali JW Marriott dan Ritz Carlton di Jakarta (2009). Bahkan pada kurun waktu 2010 sampai 2013 terjadi gerakan-gerakan terorisme radikalisme ini mencapi 39 peristiwa teror, yang spiritnya sama yaitu penegakan khalifah di Indonesia berdasarkan syariat Islam (Mbai, 2014).
Fenomena radikalisme terorisme di Indonesia bukan gerakan yang berdiri sendiri, tetapi merupakan sebuah gerakan yang berjejaring secara internasional. Menurut Ansyaad Mbai (mantan ketua Badan Penanggulangan Terorisme Nasional) semuanya merupakan gerakan jaringan radikalisme internasional, yang bermuara pada gerakan Al Qaeda. Tujuannya adalah mendirikan khilafah Islamiah yang berdasarkan syariat Islam.
Setelah peristiwa 11 September 2001 yang sangat heboh itu, Amerika mengganggap bahwa musuh perdamaian dunia saat ini adalah fundamentalisme, radikalisme, dan ekstrimisme Islam. Bahkan dengan tegas Samuel Huntington (2004) menyatakan dalam bukunya Who Are We, bahwa saat ini, Islam militan (baca Islam radikal) telah menggantikan posisi Uni Soviet sebagai musuh utama AS. “The rhetoric of America’s ideological war with militant communism has been transferred to its religious and cultural war with militant Islam…This new war between militant Islam and America has many similarities to the Cold War. Muslim hostility encourages Americans to define their identity in religious and cultural terms, just as the Cold War promoted political and creedal definitions of that identity.”
Akar gerakan Al Qaeda ini kemudian merasuk ke negara-negara berpenduduk Islam, dengan menjelma menjadi gerakan  gerakan radikalisme , kendatipun namanya berbeda-beda. Mulai dari Afganistan (kelompok Taliban ), Aljazair (gerakan Al Qaeda Islamic Maghreb/Aqim ), Arab Saudi (AQAP ), China (ETIM), Ethiopia ( Eritrean Islamic Jihad Movement ), Filipina (Abu Sayaf Group / ASG ), Libanon ( Asbet Al Anshar ), Nigeria (Boko Haram ), Somalia (Asyabab ), Irak ( ISIS/ISIL ), Suriah ( Jabaah Al – Nusrah ), Malaysia + Indonesia (Jamaah Islamiah dan Negara Islam Indonesia). (Mbai, 2014).
Dalam konteks keindonesiaan, pada tahun 2012 sempat tumbuh subur gerakan Negara Islam Indonesia (NII) atau Negara Karunia Allah (NKA), dengan sasaran utama dalam proses kaderisasi adalah para mahasiswa di perguruan tinggi baik negeri maupun swasta. Gerakan ini sangat massive sebelum pihak kepolisian menetapkan pelarangan aktifitas gerakan ini. Oleh mereka, mahasiswa dianggap sebagai kelompok yang potensial, oleh karena dengan gaya intelektualitas nya mereka dapat mempegaruhi bahkan merekrut kaum remaja pada umumnya di lingkungan tempat para mahasiswa berada. Seruan yang disampaikan adalah supaya umat Islam Indonesia melakukan “hijrah” dari masyarakat dalam kegelapan menuju masyarakat yang terang benderang. Dalam penafsiran mereka masyarakat dalam kegelapan itu berarti masyarakat tersesat yang penuh dengan kemusyrikan, kemunafikan, dan kebodohan. Indikator dari masyarakat demikian adalah maraknya korupsi, kolusi, hedonisme, dan sejenisnya. Masyarakat demikian adalah masyarakat jahiliah yaitu NKRI. Sedangkan masyarakat terang benderang adalah yang aman, tenteram dan bersih dari berbagai penyakit masyarakat. Inilah masyarakat madaniah yang oleh mereka dikatakan masyarakat dibawah naungan NII.
Dari seruan tersebut, korban terbanyak adalah dari keum generasi muda khususnya kelompok mahasiswa. Pihak kepolisian kemudian melarang gerakan NII ini dengan menangkap para tokoh-tokohnya.
Selain NII, beberapa kelompok Islam di Indonesia pun masuk kategori gerakan radikal. Sebuah buku yang berjudul Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (2004) yang diterbitkan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Jakarta, mengungkapkan adanya empat gerakan radikal di Indonesia. Keempat gerakan itu adalah Front Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Hizbuttahrir. Dijelaskan lebih lanjut alasan-alasan mengapa keempat gerakan tersebut terkategori sebagai gerakan radikal di Indonesia. Pertama, keempat gerakan ini mempunyai keyakinan ideologi yang fanatik yaitu menjadikan syariat Islam sebagai dasar negara, menggantikan tata nilai yang berdasarkan Pancasila. Kedua, keempat gerakan ini kerapkali melakukan aksi-aksi dalam pola yang sama, yaitu keras dan kasar, serta memandang kelompok lain di luar mereka adalah tidak benar. Ketiga, secara  kultural keempat kelompok ini memiliki ikatan yang kuat dengan ciri-ciri penampilan yang relatif sama. dan keempat, gerakan keempat kelompok ini cenderung bersifat gerilya, meskipun pada moment-moment tertentu mereka bergerak secara terang-terangan.
Kendatipun demikian, sampai saat ini penulis belum memperoleh bukti atau rujukan lain yang memperkuat argumentasi bahwa keempat gerakan tersebut merupakan gerakan radikal di Indonesia. Hal ini sangat berbeda dengan gerakan NII atau NKA. Memang keempat gerakan tersebut kerap turun ke jalan mengkiritisi kebijakan-kebijakan yang dianggap menyudutkan posisi gerakan mereka, akan tetapi sepengamatan penulis masih dalam batas-batas yang wajar. Hanya saja dokumen dasar gerakan mereka memang mengarahkan pada penerapan syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam konteks sosiologis, konflik sosial sulit dihindari,manakala satu pihak ingin mengimplementasikan ajaran agama atas dasar a comprehensive commitment, sedangkan pihak lain masih memperhitungkan realitas sosial yang bersifat multikultural. Apalagi kemudian konflik sosial ini dibingkai oleh kepentingan politik tertentu, maka konflik sederhana bisa menjadi kompleks dan membutuhkan energi besar untuk menyelesaikannya.
Multikulturalisme merupakan sebuah realitas sosial yang terjadi secara inherent dalam kehidupan masyarakat.Indonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Hal ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Sekarang ini, jumlah pulau yang ada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sekitar 18.000 pulau besar dan kecil. Populasi penduduknya mencapai lebih dan 240 juta jiwa, terdiri atas 300 suku bangsa, dengan menggunakan hampir 200 bahasa daerah yang berbeda-beda. Selain itu mereka juga menganut agama dan kepercayaan yang beragam seperti Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, Konghucu serta berbagai macam aliran kepercayaan.
Tatanan masyarakat dengan pluralitas yang tinggi sangat berpotensi memunculkan berbagai konflik sosial. Akarnya pun bermacam-macam mulai dari keyakinan yang berbeda, kesejahteraan yang tidak adil dan merata, egoisme kesukuan, sampai pada perseteruan politik. Contoh kongkrit dan sekaligus menjadi pengalaman pahit bagi bangsa ini adalah terjadinya pembunuhan besar-besaran yang dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1965, kekerasan terhadap etnis Cina di Jakarta pada Mei 1998 dan perang Islam Kristen di Maluku Utara pada tahun 1999-2003. Rangkaian konflik itu tidak hanya merenggut korban jiwa yang sangat besar, akan tetapi juga telah menghancurkan ribuan harta benda penduduk, 400 gereja dan 30 masjid. Bahkan perseteruan etnis antara warga Dayak dan Madura yang terjadi tahun 2000 telah menyebabkan kurang lebih 2000 nyawa manusia melayang sia-sia.
Kita patut bersyukur kepada Allah, oleh karena bangsa yang plural ini memiliki dasar filosofi bernegara dan berbangsa yang disepakati bersama oleh seluruh elemen bangsa ini, yaitu Pancasila. Melalui dasar dan falsafat Pancasila ini segala perbedaan yang ada di muka bumi Indonesia ini diakomodir sedemikian rupa sehingga tidak terjadi benturan satu dengan lainnya, bahkan merupakan mozaik kekayaan khazanah kehidupan berbangsa. Tidak ada negara di dunia ini yang memiliki keanekaragaman begitu tinggi seperti Indonesia, yang meliputi agama, keyakinan, budaya, dan etnis, tetapi masing-masing dapat hidup berdampingan secara damai dengan dilandasi oleh semangat keharmonisan, keserasian, dan keselarasan. Hanya Indonesia yang memiliki semangat bhinneka tunggal ika.
Dalam konteks ini jangan dilupakan kontribusi besar tokoh Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo, sebagai salah satu dari tiga tokoh nasional yang memformulasi sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Kita memaklumi, saat itu rumusan sila pertama Pancasila adalah seperti yang tertera dalam piagam Jakarta : Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya (Ketuhanan +7 kata). Ketika rumusan ini diprotes oleh AA Maramis (satu-satunya anggota panitia 9 yang beragama nasrani), oleh Bung Hatta dimintakan pendapat kepada tiga tokoh nasional yaitu Kasman Singodimedjo, Tengku Muhammad Hasan (Ulama Aceh), dan Ki Bagus Hadikusumo (Muhammadiyah). Dari tiga tokoh inilah kemudian lahir rumusan sila pertama Pancasila, yang memayungi segala agama dan aliran yang tumbuh berkambang dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Tantangan Asimilasi Budaya
Tantangan da’wah selanjutnya adalah persoalan assimilasi budaya dalam kehidupan masyarakat kita. Dalam terminologi antropologi, asimilasi budaya berarti berbaurnya atau berpadunya dua atau lebih kebudayaan yang benar benar menjadi satu sehingga membenetuk budaya baru, dengan menghilangkan sama sekali ciri-ciri budaya asalnya. Setiap sistem budaya di muka bumi ini akan selalu berhadapan dengan budaya lain. Bahkan menurut teori Arnold J Toynbee tentang radiasi budaya, antara satu sama lain berupaya untuk saling megintervensi, saling menghegemoni. Dengan demikian budaya Islam yang merupakan impementasi dari nilai-nilai keislaman dalam kehidupan komunitas muslim, akan selalu berhadapan dengan budaya mana pun di dunia, khususnya yang kontradiksi dengan nilai-nilai Islam.
Samuel Huntington mengatakan bahwa pasca perang dingin, paling tidak ada delapan peradaban dunia yang saling berhadap-hadapan (bermusuhan) untuk membangun hegemoni kekuasaan. Pertama budaya Sinic: budaya umum Cina dan masyarakat Tionghoa di Asia Tenggara, termasuk Vietnam dan Korea. Kedua, budaya Jepang: budaya Jepang khas yang berbeda dari seluruh Asia, ketiga hindu: diidentifikasi sebagai peradaban India inti. Keempat, Islam: berasal di Semenanjung Arab, tersebar di Afrika Utara, Semenanjung Iberia dan Asia Tengah. Arab, Turki, Persia dan Melayu adalah salah satu subdivisi yang berbeda banyak dalam Islam. Kelima, Ortodoks: berpusat di Rusia, terpisah dari Kristen Barat, keenam, budaya barat: berpusat di Eropa dan Amerika Utara. Ketujuh, budaya Amerika Latin meliputi negara Amerika Tengah dan Selatan dengan mayoritas beragama Katolik, dan kedelapan, budaya Afrika, sementara benua tidak memiliki rasa identitas pan-Afrika. Kondisi demikian harus menjadi perhatian serius dari para kader dakwah Muhammadiyah. Jangan sampai terlengah bahwa secara tidak terasa (karena proses evolusi) budaya masyarakat muslim tergantikan oleh budaya-budaya yang bermuatan tata nilai asing. Tata nilai asing dalam pengertian tata nilai yang kontradiktif dengan nilai-nilai Islam. Hal ini dapat terjadi di berbagai lapisan masyarakat, baik di desa ataupun di kota, masyarakat terpelajar maupun masyarakat awam. Pengaruh membanjirnya informasi yang luar biasa di era global melalui berbagai media baik cetak maupun elektronik, akan dengan mudah menggiring pada terjadinya assimilasi budaya yang merugikan dakwah Islam. Jika hal ini terjadi maka suatu saat Islam itu hanya lah menjadi sebuah simbol agama belaka, yang di dalamnya tidak terasakan nafas dan spirit keIslaman. Peradaban muslim yang sejati hanya akan terbangun oleh akar nilai-nilai Islam yang murni.
Oleh karena itu sebagai kader da’wah persyarikatan perlu melakukan antisipasi secara menyeluruh terhadap kemungkinan terjadinya rongrongan nilai-nilai keislaman melalui jalur budaya ini. Beberapa faktor yang mendorong percepatan proses assimilasi budaya ini, yaitu terlalu tolerannya satu kebudayaan terhadap kebudayaan lain, kendatipun saling bertolak belakang. Apalagi jika toleransi ini disertai dengan sikap terbuka dan dalam posisi yang seimbang dalam konteks sosial dan ekonomi. Hal ini mengandung makna bahwa perilaku keberagamaan yang konformis, terbuka dan penuh dengan pemakluman dengan alasan toleransi perbedaan keyakinan, akan memudahkan terjadinya assimilasi. Nilai-nilai Islam akan berbaur menjadi tatanan niilai baru bersama dengan nilai-nilai sekuler sekali pun.
Proses-proses assimilasi ini begitu halusnya merasuki relung-relung kehidupan masyarakat muslim. Tanpa terasa, kerapkali masyarakat muslim sendiri tidak menyadari bahwa dalam kehidupan sehari-harinya terjadi perilaku-perilaku yang semakin menjauh dari nilai-nilai Islam. Suatu nilai asing yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai Islam, ketika dihayati dan dipraktekkan secara berulang-ulang maka akan menjadi sebuah kebiasaan, dan nilai asing tersebut menjadi biasa bahkan menjadi milik dirinya (internalisasi nilai). Teori radiasi budaya yang dikemukakan oleh Arnold J Toynbe (sejarawan Inggris) menjelaskan proses-proses ini. Kebudayaan terdiri atas lapisan-lapisan anasir budaya dengan muatan nilai yang berbeda-beda. Unsur budaya yang kandungan nilainya rendah adalah teknologi, sedangkan unsur budaya yang kandungan nilainya tinggi adalah religi. Hegemoni atau ekspansi kebudayaan terjadi melalui pintu-pintu teknologi. Masyarakat dengan mudah akan menerima teknologi-`teknologi baru yang diintrodusir oleh pihak asing. Dengan dalih untuk terjadinya akselerasi dinamika kehidupan masyarakat, mereka dengan sangat massive menerima kehadiran teknologi asing sedemikian bersemangat.
Persoalannya kemudian, kehadiran teknologi secara inherent diikuti pula dengan kehadiran budaya baru yang membawa pula nilai-nilai asing yang boleh jadi sangat bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Sebagai contoh kecil dan sederhana, masih terngiang dalam ingatan penulis, ketika di Banjarnegara Jawa Tengah dibangun waduk mrican, didatangkanlah teknologi bendungan air yang kokoh dengan perhitungan-perhitungan yang cermat. Ketika teknologi bendungan didatangkan, datang pula para tenaga ahli dan pekerja asing yang pasti tinggal beberapa saat lamanya sepanjang pengerjaan waduk tersebut. Kehadiran orang-orang asing tersebut membawa pula kebiasaan mereka dengan tata nilai mereka sendiri; kehidupan malam, minuman keras, perempuan, judi, dan sejenisnya. Masyarakat Banjarnegara sekitar waduk Mrican yang sangat santri dan bercorak pedesaan, dengan serta merta berubah menjadi masyarakat metropolis, yang gemar akan kehidupan malam dengan berbagai seluk beluknya. Fenomena ini bukan hanya terjadi di Banjarnegara saja, akan tetapi pada semua proyek di Indonesia yang mendatangkan teknologi dari asing.
Menarik pula untuk dicermati teori yang dikemukakan oleh Samuel Huntington yang mengatakan bahwa pascaperang dingin, paling tidak ada delapan peradaban dunia yang saling berhadap-hadapan untuk membangun hegemoni kekuasaan. Pertama budaya Sinic: budaya umum Cina dan masyarakat Tionghoa di Asia Tenggara, termasuk Vietnam dan Korea. Kedua, budaya Jepang: budaya Jepang khas yang berbeda dari seluruh Asia, ketiga hindu: diidentifikasi sebagai peradaban India inti. Keempat, Islam: berasal di Semenanjung Arab, tersebar di Afrika Utara, Semenanjung Iberia dan Asia Tengah. Arab, Turki, Persia dan Melayu adalah salah satu subdivisi yang berbeda banyak dalam Islam. Kelima, Ortodoks: berpusat di Rusia, terpisah dari Kristen Barat, keenam, budaya barat: berpusat di Eropa dan Amerika Utara. Ketujuh, budaya Amerika Latin meliputi negara Amerika Tengah dan Selatan dengan mayoritas beragama Katolik, dan kedelapan, budaya Afrika, sementara benua tidak memiliki rasa identitas pan-Afrika.
Yang manarik dari teori Huntington ini adalah masing-masing kedelapan budaya tersebut saling berbenturan. Tetapi di kemudian hari, seiring dengan perjalanan sejarah, benturan yang paling tajam adalah tiga kekuatan besar; Islam, Barat, dan Konghucu. Dua terakhir akan berkoalisi, sehingga kemudian tinggallah benturan dahsyat akan terjadi antara Barat dengan Islam. Oleh Huntington, barat dikonotasikan sebagai budaya kristen/katolik. Itulah sebabnya buku karangannya ini diberikan judul The Clash of civilization.
Penutup
Tantangan da’wah seperti diuraikan di atas sudah tentu memerlukan inovasi dan kreatifitas yang menarik dan acceptable bagi masyarakat luas yang terus berjalan dinamis. Kreatifitas dan inovasi da’wah tersebut berbasiskan irama hidup kekinian, tanpa kehilangan jati diri keislaman, keindonesiaan, dan kemuhammadiyahan. Mengantisipasi tantangan da’wah tersebut, Mu’tamar Muhammadiyah tahun 2010 di Yogyakarta telah menggariskan tujuan jangka panjang pada sampai tahun 2025, yaitu menjadikan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang utama, serta terciptanya kondisi dan faktor-faktor bagi terwujudnya masyarakat Islam yang sebenarnya, dengan membangun tri kondisi pada lima tahun ke depan (tahun 2015) yaitu (1) organisasi yang maju, profesional, modern, (2) sistem gerakan dan amal usaha yg unggul, dan (3) berkembangnya peran strategis.
Rumusan hasil muktamar tersebut sudah tentu perlu dijabarkan sesuai dengan kondisi lokal oleh para pengurus persyarikatan, mulai dari ranting, cabang, daerah, sapai pengurus wilayah dan pusat. Yang paling penting untuk kepentingan da’wah demikian warga Muhammadiyah harus tetap solid, komitmen, serta loyal terhadap gerakan amar makruf nahi munkar.

Penulis: Prof. Dr. Masrukhi, M. Pd, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah


Tags:
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori:



Arsip Berita

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website